Reportase.tv, Jakarta – Pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri yang mempertanyakan mengapa rakyat Sumatera Barat belum suka terhadap partainya, mencerminkan ada perhatian khusus terhadap wilayah itu. Apalagi sepanjang sejarah PDIP belum pernah menang di Bumi Minangkabau.
Dalam Pilpres 2019, Sumbar bahkan dapat membuat keok pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Padahal pemerintahan Joko Widodo sudah memberi perhatian cukup dengan membangun sejumlah fasilitas di wilayah ini.
Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai, bahwa pendekatan kebijakan pembangunan fisik tidak cukup efektif “menjinakkan” masyarakat Sumbar. Menurutnya, ada kemungkinan faktor geanologi politik dan ideologi masih dominan menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pilihan.
“Jika disimak, geanologi politik masyarakat sumbar saat ini belum lepas dari politik aliran di masa lalu. Partai Masyumi sangat kuat di wilayah ini. Dalam konteks ideologis pengaruhnya masih kuat hingga sekarang, meskipun dalam konstalasi politik pasca Pemilu 1955 dan sejak Masyumi dibubarkan ada pergeseran,” ujar Karyono dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (5/9).
Salah satu faktor lemahnya dukungan PDIP di Sumbar, kata Karyono, salah satunya karena PDIP tidak memiliki tokoh berpengaruh yang dapat menarik pemilih. Padahal, dalam marketing politik dibutuhkan strategi endorsements tokoh yang berpengaruh sebagai pengepul suara atau vote getter. Hal ini penting di tengah budaya patronase politik yang masih kuat.
“Kekalahan PDIP di Sumatera Barat jika ditarik lebih jauh juga disebabkan juga oleh faktor sejarah hubungan Sukarno dengan sejumlah tokoh Sumbar, terutama dengan tokoh yang saat itu terlibat dalam PRRI/PERMESTA. Sosok Sukarno dipandang sebagai pihak yang mengerahkan militer untuk menumpas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat yang membuat sosok Sukarno kurang diterima di Bumi Minangkabau,” jelasnya.
Meskipun demikian, sambung Karyono, sejak reformasi telah terjadi pergeseran kekuatan politik yang menunjukkan masyarakat Sumbar semakin cair. Hal itu dibuktikan dengan peta perolehan suara partai dalam sejumlah pemilu dimenangi partai berhaluan nasionalis yaitu Golkar (2004), Demokrat (2009), Golkar (2014), dan Gerindra (2019).
“Hanya pada Pemilu 1999 yang dimenangi oleh partai yang cukup dekat dengan pemilih Islam, yakni Partai Amanat Nasional. Dalam sejarah pemilu di Sumbar memang tergolong fenomenal, yakni partai yang dekat dengan sosok Sukarno baik PNI, PDI dan PDIP tidak pernah menang,” katanya.
Fenomena politik tersebut, semestinya mendorong pdip melakukan evaluasi secara holistik dengan melakukan penelitian yang tersistematis untuk menggali dan mengetahui perilaku masyarakat (pemilih) di Sumbar. Dengan melakukan riset secara komprehensif maka dapat dipotret pelbagai fenomena yang ada di dalam masyarakat Sumbar.
Riset tersebut dapat menggali pelbagai informasi dan persepsi masyarakat lokal tentang partai politik, seberapa suka masyarakat Sumbar terhadap PDIP dan partai lain. Dapat diketahui pula alasan suka dan tidak suka, alasan mengapa memilih dan tidak memilih. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap sejumlah kebijakan pemerintah juga dapat digali melalui penelitian. Melalui riset dapat juga diketahui seberapa besar perubahan geanologi masyarakat di Sumbar.
“Dari penelitian itu menghasilkan rekomendasi yang dapat customize untuk menyusun strategi perjuangan partai ke depan. Strategi berbasis riset itulah yang digunakan agar PDIP dapat meningkatkan akseptabilitas dan elektabilitasnya di Sumbar,” kata Karyono.
Lebih jauh Karyono menilai, tentu ada cara agar masyarakat Sumbar bisa menerima, menyukai dan memilih PDIP. Menurutnya, untuk meluluhkan hati masyarakat Sumbar memerlukan pendekatan persuasif dan beradaptasi dengan budaya lokal.
“Tidak cukup dengan cara-cara parsial, seporadis dan instan,” pungkasnya.