Oleh : Budi Susanto, SHI.
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Setelah kasus pertama Virus Corona ditemukan pada dua warga Depok, Jawa Barat awal Maret lalu. Data hingga Hingga Kamis (2/4/2020), total kasus positif terpapar virus corona mencapai 1.790 kasus. Dari jumlah itu, korban meninggal mencapai 170 jiwa, dan angka yang sembuh 112 orang.
Cepatnya penyebaran virus ini di Indonesia menurut Juru Bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto karena banyak warga yang tak mengikuti imbauan untuk tetap di rumah. Padahal pemerintah menginstruksikan masyarakat salah satunya untuk melakukan social distancing atau menjaga jarak. Bila instruksi ini tidak dipatuhi, risiko penularan akan semakin membesar.
Pada tanggal 16 Maret 2020, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa Penyelenggaraan ibadah saat pandemi virus corona atau covid-19. Isi dari fatwa tersebut terdiri dari 9 poin yang dalam poin ke 3 huruf (a) dan (b) yang berbunyi:
“Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan salat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah salat lima waktu atau rawatib, tarawih, dan ied di masjid atau tempat umum lainnya”. (Poin 3 huruf (a)).
“Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus corona”. (Poin 3 huruf (b)).
Dari poin tersebut, penulis menilai dari segi materi, Pertama; fatwa tersebut kurang spesifik dalam menentukan kawasan yang potensi penularanya rendah, tinggi, atau sangat tinggi, apakah kawasan yang dimaksud dalam lingkup Kota, atau lingkup Kecamatan atau Kelurahan. Sehingga masyarakat umat muslim menjadi bingung antara tetap menjalankan ibadah seperti biasa atau tidak. Kedua; fatwa tersebut kurang mengedepankan prinsip kehati-hatian. MUI adalah kumpulan Ulama yang membimbing, membina dan mengayomi umat muslim di Indonesia. Dalam kalimat “kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi” dapat kita artikan keadaan kawasan tersebut sudah termasuk kategori kawasan berbahaya penularan. Jika terdapat bahaya untuk menjaga kehati-hatian sebaiknya MUI memakai kaidah fiqih “Daf’ul mafasid muqoddamu ‘ala Jalbil Masholih” yaitu “menghindari mudhorat harus diutamakan daripada mengambil manfaat”, dan kemudian pada kawasan tersebut dinaikan status hukum sholat berjamaah tidak lagi menjadi mubah, akan tetapi menjadi makruh karena sholat berjamaah dimasjid kawasan tersebut berpotensi tinggi terpapar penularan virus covid-19 Dalam islam hanya memiliki 5 (lima) pilihan hukum yang disebut dengan Al Ahkamul Khomsah terdiri dari wajib, sunnah, mubah, makruh, haram. Ketegasan dan kecepatan MUI dalam menentukan status hukum suatu permasalahan sangat dibutuhkan umat muslim agar tidak terjadi perdebatan dikalangan masyarakat tentang pelaksanaan ibadah berjamaah di masjid saat pandemic virus covid-19 ini.
Dari segi Formal, dalam mengeluarkan fatwa, seharusnya MUI terlebih dahulu berkoordinasi dengan pihak Kepolisian. Tanggal 16 Maret 2020 fatwa MUI keluar, selang 2 hari Maklumat Kapolri juga keluar yang pada isi materi keduanya terdapat insinkronisasi. Hal ini dapat memicu benturan antara penegak hukum dengan umat muslim yang mencoba memahami fatwa MUI dalam melaksanakan ibadah di masjid. MUI sebagai panutan umat muslim dan Kepolisian sebagai penegak hukum harus sinkron dalam setiap keputusanya, hal ini agar tidak terjadi kesalahpahaman bahkan bertentangan antara produk hukum yang dikeluarkan MUI untuk umat muslim tentang penyelenggaraan ibadah saat pandemi virus covid-19 dengan produk hukum yang dikeluarkan Polri melalui Maklumatnya Nomor: Mak/2/III/2020 tanggal 19 Maret 2020 Tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19). Dimana dalam maklumat Kapolri tersebut melarang kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, baik di tempat umum maupun di lingkungan sendiri. Di antaranya pertemuan sosial, budaya, keagamaan dan aliran kepercayaan dalam bentuk seminar, lokakarya, sarasehan dan kegiatan lainnya yang sejenis. termasuk kegiatan konser musik, pekan raya, festival, bazaar, pasar malam, pameran, dan resepsi keluarga.
fatwa MUI bersifat kondisional, artinya berlaku sesuai dengan kondisi kawasan berpotensi penularan, dapat kita bagi kondisi tersebut sebagai berikut:
- Dalam kondisi kawasan berpotensi penularan rendah, masyarakat muslim tetap berkewajiban melaksanakan sholat jumat (poin 3 huruf b).
- Dalam kondisi kawasan berpotensi penularan tinggi atau sangat tinggi, masyarakat muslim boleh meninggalkan sholat jumat dan menggantinya dengan sholat Dzuhur. (poin 3 huruf a)
Dapat kita pahami, dalam kondisi ini kedudukan hukumnya boleh meninggalkan boleh juga melaksanakan, karena konsekuensi dari hukum mubah/boleh itu tidak memiliki sanksi karena tidak ada unsur yang dilanggar dalam hukum islam.
- Dalam kondisi kawasan yang penyebaran penularan virus covid-19 tidak terkendali yang mengancam jiwa, masyarakat muslim tidak boleh melaksanakan sholat jumat.
- Dalam kondisi kawasan yang penyebaran penularan terkendali, masyarakat muslim wajib melaksanakan sholat jumat.
Pengelompokkan kondisi kawasan ini berbeda dengan pengelompokkan kondisi wilayah yang dipakai oleh Pemerintah yaitu menggunakan istilah zona hijau, zona kuning, zona orange, dan zona merah. Disisi lain Maklumat Kapolri ini bersifat umum, artinya berlaku dalam semua kondisi kawasan berpotensi penularan, baik potensi penularannya rendah, tinggi, maupun sangat tinggi. Dari sinilah terjadi insinkronisasi anatar fatwa MUI dengan Maklumat Kapolri. Seseorang tidak akan mengetahui bahwa ia berada di kawasan dalam kondisi yang mana, bahkan dalam suatu wilayah yang jumlah kasusnya terbilang rendah tetapi MUI setempat meniadakan sholat jumat. Atau sebaliknya di wilayah yang telah dinyatakan berpotensi tinggi penularan, tetapi masih ada masjid yang melakukan sholat jumat, jika pihak polisi ingin melakukan penertiban pada masjid tersebut, maka Tamir/pengurus masjid dapat berpendapat ia berpegang pada fatwa MUI yang masih membolehkan masjidnya melaksanakan sholat jumat.
Kita tidak ingin kejadian di sebuah masjid di Kota Narayanpet, Telangana, India, pada Jumat (26/3/2020) lalu, terjadi di negara kita. Dimana imama sholat dan sejumlah jamaah dikejar polisi, peristiwa tersebut dikarenakan akibat kerancuan anjuran pemerintah setelah Badan Wakaf Telangana menjelaskan kepada masyarakat bahwa shalat Jumat tetap bisa dilaksanakan dengan jumlah jamaah maksimal lima orang. Akibatnya, masyarakat Telangana ada yang patuh pada anjuran pemerintah dan ada yang menuruti anjuran ulama. (https://www.goriau.com/berita/baca/tetap-shalat-jumat-imam-digelandang-jamaah-dikejar-hingga-ke-atap-masjid.html). Atau peristiwa di Masjid Kramat Luar Batang pada tanggal 3 April 2020 dimana jamaah yang hendak melangsungkan salat Jumat namun dihadang oleh pihak kepolisian setempat. Salah satu jamaah menuturkan para warga menolak karena memang tidak ada informasi sebelumnya yang disampaikan.
Gesekan tersebut tidak akan terjadi jika MUI dan Polri sejalan dalam mengambil keputusan, masyarakat tidak akan bingung akan status wilayah mereka termasuk kategori wajib, Sunnah, mubah, makruh, atau haram/dilarang untuk melaksanakan sholat jumat. Dan Polisi sebagai penegak hukum tidak akan menemukan gesekan dengan masyarakat saat melakukan penertiban dari kebijakan pemerintah tentang social distancing. Dengan demikian masyarakat akan merasa lebih terarah dalam setiap tindakanya dan kepastian hukum akan lebih terjamin.